Kebiasaan anak dalam menghisap rokok
semula diawali dengan coba-coba. Alasan pertama para anak menghisap rokok
adalah sederhana yaitu mencoba karena
tergiur oleh tawaran yang datang dari orang yang lebih dewasa. Dikarenakan
seorang anak penuh dengan rasa ingin tahu, maka anak tersebut kemudian mencobanya maka akan timbul kecanduan.
Anak pada tingkat coba-coba dalam
kebiasaannya menghisap rokok, kebiasaannya mempunyai kebiasaan emosi lebih
memuncak dari kebiasaannya jika sedang marah. Orang tua sudah mengajarkan
kepada anak agar tidak menghisap rokok, akan tetapi keterlibatan ini tidak jauh
sampai membatasi lingkungannya. Orang tua kebanyakan hanya sekedar melarang
tetapi selanjutnya membiarkan saja dengan alasan biar anak tidak menangis dan
tidak rewel.
Secara yuridis, tindakan orang tua
melakukan pembiaran terhadap balitanya yang menjadi perokok aktif adalah
merupakan suatu delik omisi, berdasarkan ketentuan Pasal 78 dan Pasal 89 ayat
(2) UU Perlindungan Anak. Pasal 78 UU
Perlindungan Anak “ setiap orang yang
mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi darurat sebagaimana
dimaksud dalam pasal 60, anak yang berhadapan dengan hokum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan/atau
seksual,anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alcohol,psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban
penculikan,anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 59, padahal anak
tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan penjara
paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (
seratus juta rupiah).
Adapun unsur-unsur pidana menurut pasal 78 UU
Perlindungan Anak yang telah terpenuhi oleh orang tua yang membiarkan balitanya
merokok, adalah:
Setiap orang
1.Unsur
setiap orang merujuk pada suatu subjek hokum.
Subjek hokum ada 2 yaitu: Seorang manusia atau badan hokum, yang pada kasus ini
jelas seorang manusia. Maka unsur setiap orang telah terpenuhi bagi orang tua
balita tersebut.
2.Mengetahui
dengan sengaja membiarkan Pengertian mengetahui adalah: memaklumi;menyaksikan;menyadari;menginsafi. Pada kasus diatas orang tua
mengetahui dengan pasti kegiatan anak yang merokok.
Adapun unsur-unsur pidana menurut pasal 89
ayat (2) UU Perlindungan Anak yang telah terpenuhi oleh orang tua yang
membiarkan balitanya merokok, adalah:
1.Setiap orang
Jika dikaitkan dengan kasus balita yang dibiarkan menjadi perokok
aktif, unsur” setiap orang” merujuk pada
orang tua dari balita tersebut.
2.Dengan sengaja membiarkan, melibatkan anak dalam penyalahgunaan
zat akdiktif lainnya.
Dalam kasus balita yang merokok,
dengan sengaja membiarkan dalam kaitannya anak dalam penyalahgunaan napza
golongan zat akdiktif.Rokok merupakan zat akdiktif., zat akdiktif meliputi
tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat
akdiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/ atau
masyarakat sekelilingnya. Selain itu penyebutan rokok sebagai zat akdiktif
adalah peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Pengamanan Rokok Bagi
kesehatan, yang merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, yaitu:
“
Bahwa rokok merupakan salah satu zat adiktif yang bila digunakan mengakibatkan
bahaya bagi kesehatan individu dan masyarakat, oleh karena itu perlu dilakukan
berbagai upaya pengamanan”.
Penggunaan rokok oleh anak selalu
dilarang oleh dokter spesialis anak karena merugikan kesehatan anak. Anak yang
merokok dalam kasus-kasus yang telah dibahas sebelumnya menderita gangguan
fisik yaitu kerusakan organ paru-parunya, menderita gangguan psikis akibat
ketergantungan dari rokok yang menyebabkan anak gelisah serta depresi bila
tidak menghisap rokok, dan menderita gangguan fungsi social karena dijauhkan
oleh teman-teman sebayanya,
Dianalisis lebih lanjut disini, bahwa dengan adanya pasal 89 ayat (2) UU
Perlindungan Anak Ini yang melarang orang tua membiarkan dan melibatkan diri
dalam proses terjadinya kecanduan rokok bagi anak. Berbeda dengan Pasal 78 UU Perlindungan Anak dimana tidak
ada peran orang tua yang melibatkan diri secara aktif sehingga anak menjadi
pecandu rokok. Penjeratan dalam Pasal 89 ayat (2) UU Perlindungan Anak ini bias
dikenakan jika orang tua melibatkan diri secara aktif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar